Jasaview.id

Sebuah kisah penuh makna "




Siang itu siang bulan agustus yang benar-benar sangat panas di New York City, hari yang membuat orang mandi keringat dan bersungut- sungut karena merasa tidak nyaman. Saya sedang berjalan pulang ke hotel, dan sewaktu melangkah memasuki bis yang menuju Madison Avenue, saya dikejutkan oleh pengemudinya, seorang pria kulit hitam setengah baya yang tersenyum penuh semangat dan menyambut saya dengan sapaan ramah, “Hai! Apa kabar?”, sapaan yang diberikannya kepada setiap orang yang memasuki bisnya sewaktu bi situ merayap menembus kepadatan lalu lintas ditengah kota. Setiap penumpang sama terkejutnya seperti saya, dan, karena terpengaruh suasana murung siang itu, sedikit saja yang membalas sapaannya.

Teapi, sewaktu bis berjalan pelan- pelan di kemacetan lalu lintas menuju wilayah pemukiman, terjadilah perubahan pelan yang agak mencengangkan. Pengemudi tersebut menciptakan monolog yang lincah untuk menyenangkan kami, komentar memikat tentang pemandangan yang berlaku dihadapan kami: ada obral menarik di took itu, pameran hebat di museum ini, sudahkan anda mendengar tentang bioskop yang baru saja dibuka di blok sini? Rasa senangnya pada banyaknya kemungkinan yang ditawarkan oleh kota itu menular. Pada saat turun dari bis, setiap penumpang secara bergiliran menanggalkan wajah murung ketika memasuki bis, dan saat pengemudi itu berseru “Sampai jumpa, semoga sukses!” masing- masing membalas dengan senyuman.


Kenangan peristiwa tersebut tersimpan di benak saya selama hamper 20 tahun. Ketika saya naik bis di Madison Avenue itu, saya baru saja menyelesaikan program doctor dibidang psikologi… tetapi kecil sekali perhatian terhadap psikologi saat itu mengenai bagaimana perubahan semacam itu dapat berlangsung. Psikologi hanya sedikit saja tahu, atau sama sekali tidak tahu, mengenai mekanisme perasaan. Namun, membayangkan virus rasa riang yang menyebar menembus kota besar itu, yang dimulai dari penumpang- penumpang di bisnya, saya menganggap bahwa pengemudi bis ini semacam pembawa damai di kota, dengan kemampuan luar biasa untuk mengubah suasana mudah marah dan membosankan yang merasuki penumpang- penumpangnya, membuat mereka agak santai dan sedikit berlapang dada.
Berita yang sampai kepada kita setiap hari penuh dengan laporan tentang lenyapnya sopan santun dan rasa aman, menyiratkan adanya serbuan dorongan sifat jahat. Tetapi, dalam skala yang lebih besar, berita itu sekedar memberi gambaran adanya emosi- emosi yang pelan- pelan tak terkendalikan dalam kehidupan kita sendiri dan dalam kehidupan orang- orang sekitar kita. Tak ada orang yang mampu bertahan dari gelombang ketidaktentuan ledakan kemarahan dan sesal ini, gelombang ini menembus sisi- sisi kehidupan kita dengan segala cara.


Dasawarsa terakhir ini telah mencatat rentetan laporan semacam itu, mencerminkan meningkatnya ketidakseimbangan emosi, keputusasaan, dan rapuhnya moral di dalam keluarga kita, masyarakat, dan kehidupan kita bersama. Tahun- tahun ini telah merekam meningkatnya tindak kekerasan dan kekecewaan, entah dalam kesepian anak- anak yang terpaksa ditinggal sendiri atau diasuh babysitter dan televise, atau dalam kepahitan anak- anak yang disingkirkan, disia- siakan, atau diperlakukan dengan kejam, atau dalam keintiman tak lazim dari tindak kekerasan dalm perkawinan. Meluasnya penyimpangan emosional terlihat pada melonjaknya angka tingkat depresi diseluruh dunia dan pada tanda- tanda tumbuhnya gelombang agresivitas… pemuda berumur belasan bersenjatakan senapan di sekolah- sekolah, kecelakaan di jalan bebas hambatan yang berakhir dengan tembak- menembak, mantan karyawan yang membantai bekas rekan- rekan sekerja. Penganiayaan emosi, penembakan di jalan- jalan, dan stress pascatrauma semuanya termasuk dalam kosakata lumrah selama dasawarsa terakhir ini, ketika slogan zaman ini beralih dari seruan gembira “Selamat bersenang- senang” menjadi “Mari bersenang- senang” dengan nada tak sabaran.


Saya telah melacak kemajuan pemahaman ilmiah kita tentang wilayah tak rasional. Melalui pengamatan itu, saya dikejutkan oleh dua kecenderungan yang berlawanan, yang satu menggambarkan meningkatnya bencana dalam kehidupan emosional masyarakat, dan kecenderungan lainnya menawarkan beberapa penyembuhan yang memberikan harapan.


-daniel goleman-

-penggalan isi buku karya daniel goleman ini sengaja saya angkat karena tampaknya apa yang menjadi topik bahasan sangat relevan dengan apa yang telah berlaku di Indonesia belakangan ini-

Photo by Dids

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Yuk kita semangat berbagi ! ... karena tak ada ruginya kita berbagi. Jangan terburu meninggalkan Blog saya ... silakan baca artikel yang saya posting dan jangan lupa berkomentar

0 comments: